03 September 2010

Keraguan Berhukum Kepada Thagut

Kita tidak memberikan dalam pembahasan topik ini konsep kewajiban untuk menaati syariah atau setiap perbuatan berdasarkan pada hukum dan lain-lain. Lebih dari itu jika kita menyangkal keraguan tentang konsep ini, itu menjadi lebih mudah untuk menjelaskan konsep itu sendiri. Kita mengetahui dengan baik bahwa apa saja yang manusia ucapkan dari mulutnya, itu akan di hitung (pahala atau dosa). Apapun yang dia kerjakan dengan ikhlas dia akan mendapat balasannya. Allah (swt) berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS Al Zalzalah 99 : 7) Rasulullah (saw) bersabda: “Seseorang yang mengatakan tanpa mempertimbangkan apakah itu penting dan itu akan menyebabkannya berada di dalam nereka selama 40 masa.” Kita mempunyai sebuah prinsip dalam Syariah: “Realitas tentang apapun tidak bisa di ubah dengan mengubah namanya.” Yaitu fakta sebuah masalah tidak bisa berubah oleh menyebutnya dengan nama yang berbeda, cara yang kita tidak bisa bedakan antara warga Negara biasa dengan militer, semua bisa di perangi selama mereka terlibat dalam peperangan. Cara yang sama halnya bahwa demokrasi tidak bisa menjadi halal dengan menyebutnya syura (musyawrah), itu adalah bukan syura itu adalah syiik dalam hal peraturan Allah (swt). Mereka yang berkata “kita memutuskan kepada thaghut itu karena …..begini dan begini…” berkata: 1. “…itu bukanlah memutuskan, itu hanya untuk mencari kebenaran ”: orang-orang yang mengatakan bahwa jika kita tidak menggunakan thaghut untuk mencari kebenaran, kemudian kita akan kehilangan semua kebenaran kita. At Tahakum adalah Al Ibadah.
Tauhid adalah ifraad ullahi fil ibaadahi, untuk menyembah Allah semata. At Tahakum adalah salah satu bentuk ibadah dan satu-satunya yang berhak di sembah adalah Allah (swt). At Tahakum di defenisikan sebagai: “untuk condong dan memilih kepada sesuatu untuk memutuskan perselisihan suatu masalah antara dua atau lebih golongan.” Bahwa kembali untuk mencari sebuah hukum, memecahkan sebuah masalah atau mencari kebenaran adalah sebuah perbuatan anggota tubuh bukan perbuatan hati. Merubah kata At Tahakum ‘untuk mencari kebenaran’ tidak akan mengubah realitas bahwa itu adalah memutuskan/menetapkan (At Tahakum). Walaupun dia keluar dari sebutan perbuatan memutuskan kepada thaghut, tetapi sebutan ‘mencari kebenaran’ tidak merubah fakta bahwa itu adalah memutuskan. Melakukan demikian adalah yang di sebut At Ta’alluh pada Allah adalah sebuah bentuk dari legislasi. Perbuatan adalah pilar dari iman dan tahakum adalah sebuah perbuatan anggota tubuh bukan perbuatan hati, jadi niatnya dalam perbuatan tidak sesuai dengan hukum. Dia pergi kepada thaghut tidak bisa di benarkan bila dia mengatakan “niatku hanya untuk… begini dan begini…” karena memutuskan adalah bukan perbuatan hati, tetapi adalah perbuatan anggota tubuh (badan). Seseorang yang mengatakan bahwa dia bisa memutuskan kepada thaghut dengan niat yang berbeda, hanya untuk ‘mencari kebenaran’, ini sama seperti seseorang yang berkata kamu bisa bersujud kepada berhala selama kamu tidak berpikir bahwa itu adalah tuhan atau dia tidak berniat untuk menyembah berhala tetapi hanya untuk menghormatinya. Dalam kasus ini, kita tidak bisa menyebut seseorang musyrik, karena seseorang bisa menyatakan bahwa dia tidak sungguh-sungguh bersujud didalam hatinya. Ibnul Qayyim berkata, “Salah satu bentuk syirik adalah sujudnya murid kepada syaikhnya, itu adalah syirik bagi seseorang yang bersujud dan seseorang menerimanya. Itu adalah sesuatu yang aneh bahwa mereka menyatakan bahwa itu adalah bukan sujud, bahwa itu hanya meletakkan kepala diantara kedua kaki sang syaikh diluar dari rasa hormat dan meninggikannya.’; walaupun kamu memberikannya sebuah sebutan sesukamu faktanya sujud adalah kamu meletakkan kepala kebawah di depan seseorang yang mau untuk menerima sujud.” [Al Madaarij Al Saalikin v1 Hal. 374].Sujud tidak bisa bersujud kepada seorang syaikh dengan ‘niat’ untuk memberikan rasa hormat itu adalah syirik dan sujud adalah meletakkan kepala kita di bawah di depan seseorang yang mau kita beri sujud, apapun kita menyebutnya. Mereka juga menyatakan bahwa “Rasulullah (saw) mengambil Muts’ab Ibnu ‘Adiy sebagai pelindungnya dan dia adalah seorang musyik, oleh karena itu kita bisa berhukum (dengan sewenang-wenang)”. Orang-orang yang menggunakan alasan salah ini dan ini adalah benar-benar sebuah alasan yang salah. Mereka mencoba memunculkan keraguan bahwa “Rasulullah (saw) berhukum kepada Muts’ab untuk melindungi dan demikian kita bisa memutuskan kepada thaghut untuk melindungi kebenaran kita.” Rasulullah (saw) tidak pernah meminta pendapat pada Muts’ab, beliau mengangkatnya untuk melindungi beliau, At Tahakum adalah: “untuk condong dan memilih kepada yang lain untuk memutuskan perselisihan suatu masalah antara dua atau lebih golongan.” Ketika kita berbicara tentang tahakum kita sedang berbicara tentang sesuatu yang lain, Allah (swt) berfirman, ( “…Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS An Nisa 4 : 59) An Niza dalam ayat tersebut berarti permasalahan yang sedang kita hadapi atau itu untuk meninggalkan sesuatu. Jika seseorang pergi kepada seseorang yang lain yang bisa menyelesaikan permasalahan kita, dan mereka menghakimi dengan selain daripada apa yang telah Allah (swt) turunkan, (yaitu dia akan menjadi seorang muslim yang baik) bahwa orang-orang yang tidak beriman pada Allah, jika memutuskan kepada selain daripada (yang telah di turunkan) Allah (swt) itu adalah syirik akbar. Itu tidak sama sebagaimana membayar orang kafir untuk melindungi kita, mengambil seorang pelindung (bodyguard) adalah sesuatu yang Rasulullah (saw) dan Abu Bakkar lakukan. Abu Bakar memasuki dengan perlindungan Ibnu Daghunna dan kaum Muslimin memasuki dengan perlindungan An Najasyi dan Muhammad (saw) mengambil perlindungan dari Nuts’ab Bin Adi ketika dia datang dari Thaa’if. Kita bisa melakukan hal sama, kita bisa memanggil polisi untuk melindungi kita, tetapi tidak membayar dan tidak juga mengabilnya kedalam pengadilan untuk memutuskan suatu perkara. Jika seseorang meminta untuk mengambil haknya dalam bentuk manfaat itu bukan memutuskan, itu juga bukan mendamaikan antara dua golongan yang sedang berselisih. Mereka juga menunjuk kepada Hilf ul fudhul, Ini adalah sebuah kesepakatan/ kontrak bahwa yang terjadi pada masa jahiliyyah, di dalam rumah Ibnu jad’aan dia memanggil orang-orang dan berkata, “kita tidak bisa menjadi begitu jelek, kita adalah orang-orang arab yang menghargai tamu dan kita tidak bisa membunuh mereka, mereka datang untuk berhaji kita harus menerima mereka dan memberikan mereka perlindungan.” Dia telah membuat sebuah kesepakatan untuk memberikan perlindungan kepada jamaah haji, Rasulullah (saw) bersabda, “jika aku di panggil untuk membuat sebuah perjanjian seperti hilf ul fudhul, aku akan ambil bagian.” Dia tidak pernah disana kecuali pada saat anak-anak dan hanya bercerita tentang Madinah, tetapi orang-orang melompat untuk berkata dia terlibat dalam berhukum kepada thaghut. Namun memutuskan tidak mempunyai apa-apa untuk melakukan perlindungan terhadap setiap orang dan perlindungan itu tidak dapat di lakukan dengan masalah mmutuskan. Lebih lanjut, orang-orang yang melakukan hilf ul fudhul adalah bukan tawaghit, mereka bukan tuhan, imam ataupun hakim. Mereka hanya kepala kabilah yang setuju untuk memberikan perlindungan kepada jamaah haji. Tawaghit adalah yang orang-orang gunakan untuk berhukum kepada orang-orang seperti ka’ab bin Asyraf dan Dar ul Nadwa. berhukum adalah bukan tentang orang-orang yang berkata ‘aku memberikan perkataanku’ Rasulullah (saw) bersabda, “mereka adalah orang-orang Musyrik yang tergabung untuk membantu orang-orang yang terhimpit.” Dan dia berkata tentang itu, “Aku adalah seorang anak muda ketika aku pergi dengan pamanku untuk perjanjian itu, demi Allah aku tidak akan membiarkannya lemah, meskipun mereka memberiku semua unta yang merah”. Hilf ul fudhul hanyalah sebuah perjanjian dari orang-orang yang membantu orang-orang yang terhimpit, itu bukan memutuskan dan rasulullah (saw) menyukai setiap perjanjian untuk membantu orang-orang yang terhimpit. Mereka yang mengarahkan pada bukti ini, kita bertanya, apakah perkataan Rasulullah (saw) sebanding dengan perkataan Ka’ab Bin Asyraf dan orang-orang yang memutuskan kepada mereka? Tentu saja tidak, dan jauh dari masalah berhukum, jadi mengapa kita harus menggunakannya untuk memutuskan perundang-undangan kepada thaghut? Sebagian orang yang membantah tentang pendapat itu bahwa pengadilan di inggris adil dan juga mereka menunjuk kepadanya dan menggunakan hilf ul fudhul sebagi hujjah. Bagaimanapun juga, kita tidak menyangkal bahwa thaghut tak adil juga mengambil suap, Allah (swt) menyuruh kita untuk menolak thaghut, karena itu adalah thaghut kafir dan tidak ada seorangpun bisa menjadi muslim tanpa menolaknya dan menjauhkan dirinya sendiri berhukum kepadanya (thaghut). Lebih lanjut, mereka mengatakan bahwa “ kita memutuskan kepada mereka dalam sebuah masalah jika mereka melewati putusan yang adil” sebagaimana jika adalah yang dilewati oleh manusia, tetapi keadilan hanya dari Allah (swt). Hakim hanyalah seseorang yang manaati hokum Allah (swt). Mereka mengklaim bahwa kamu bisa berhukum kepada mereka dan menerima atau menolaknya jika itu adil atau tertekan. Allah (swt) melarang kita untuk memutuskan kepada mereka, dan seseorang yang memutuskan kepada mereka, belum menolaknya (thaghut), Allah (swt) berfirman, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu….” (QS An Nisa 4 : 60) Allah tidak membedakan antara memutuskan kepada thaghut jika putusannya adalah ‘adil’ atau ‘tidak adil’, dan kemudian kita tidak bisa melihat hilf ul Fudhul sebagai hujjah untuk berhukum kepada thaghut jika mereka ‘adil’. Lebih lanjut, orang-orang yang terlibat dalam kesepakatan tidak hanya melibatkan kepala kabilah, itu juga melibatkan melibatkan orang-orang juga, Ibnu Ja’daan bukanlah seorang kepala kabilah, paman nabi menghadirinya dan dia bukan seorang kepala kabilah; mereka bukan tawaghit. Untuk pergi kepada orang-orang yang kuat dan bijaksana, yang mempunyai penghormatan dengan tujuan untuk memberikan perlindungan atau setuju untuk melindungi orang-orang adalah bukan memutuskan suatu perkara. Tetapi pergi kepada tawaghit , pemimpin kufur, hakim kafir dan sebagainya untuk memutuskan adalah kufur dan syirik kecuali dibawah paksaan (menurut sebagian ulama Ahlu As Sunnah), jika seseorang tertentu itu akan berhadapan dengan siksaan atau kematian, dia bisa pergi untuk memutuskannya. Hujjahnya adalah bahwa Ammar bin Yasir, Allah (swt) berfirman, Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS An Nahl 16 : 106) 2. “…ayat tentang memutuskan kepada thaghut di turunkan kepada orang-orang yang tidak menerima hukum Allah dan RasulNya, sedangkan kita memutuskan pada thaghut tetapi kita melakukan menerima hukum Allah dan RasulNya.” Pernyataan dimana ayat Allah (Swt) mengutuk mereka yang berhukum berdasarkan thagut untuk menjadi kafir, hanya bisa diaplikasikan bagi orang-orang yang menafsirkannya dan bahwa mereka menolak Hukum Allah, mereka meletakkan kondisi pada berhukum itu bahwa kita harus mengartikannya pada thaghut. Mereka mengutip masalah dua orang, Yahudi dan Munafiq yang menginginkan untuk memutuskan kepada Ka’ab ibn Ashraf, Yahudi tidak percaya kepada Ka’ab, karena dia mengetahui dia akan mengambil uang suap dan mau untuk pergi bersama Muhammad (saw), tetapi orang-orang munfik menolak dan menginginkan untuk pergi kepada Ka’ab. Ayat yang telah mengungkapnya, Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu… (QS An Nisa 4 : 60) Mereka mempunyai Al Irada - mereka menginginkan untuk memutuskan kepada thaghut. Mereka menyatakan itu artinya bahwa hanya jika mereka benar-benar menginginkan untuk memutuskan bahwa itu adalah kufur, tetapi Allah (swt) tidak mengatakan jika mereka menginginkan untuk memutuskan Allah telah menggambarkan kondisinya, menggambarkan bahwa mereka meninginkan untuk memutuskan, Allah tidak meletakkannya pada kondisi tertentu, itu adalah kesalahan untuk mengambil irada ini ketika sebuah kondisi untuk memutuskan kepada thaghut adalah kufur. Argument lain digunakan dengan orang-orang itu, adalah bahwa mereka mereka memutuskan kepada thaghut pada saat mereka tidak mau untuk melakukan yang demikian. Ini bagaimanapun adalah dua gambaran dalam situasi yang sama; kedua memutuskan berdasarkan thaghut apakah mereka menginginkan atau tidak. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak ada perbuatan yang kita lakukan, itu berhubungan dengan Irada kecuali dalam kondisi terpaksa. Ini adalah sebuah kaidah dalam syari’ah: “setiap perbuatan yang kita lakukan dengan kemuan kita adalah pilihan, setiap perbuatan itu dilakukan tanpa pilihan adalah paksaan.” Setiap perbuatan yang berkaitan dengan irada tetapi tidak setiap irada berhubungan dengan perbuatan. Iraada bisa menjadi terlaksana dengan perbuatan dan mungkin juga tidak (seperti mereka mungkin merubah kemauan mereka sebelum melakukan perbuatan). Dalam ayat ini dimana Allah (swt) berfirman, Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu…. (QS An Nisa 4 : 60) Allah (swt) berfirman, “apakah kamu tidak memperhatikan….” Dan dia menyebut mereka pendusta dan tidak menyukainya karena tindakan mereka tidak sesuai dengan niat mereka. Mereka memutuskan seuatu perkara dengan kekufuran mereka. Seseorang yang pergi untuk memutuskan adalah perbuatan dengan pilihan dan itu adalah suatu hal yang di murkai Allah dalam ayat ini, setelah itu dia memerangi mereka yang selanjutnya Allah (swt) berfirman, “Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu….” Jika kita sekarang pergi kepada thaghut untuk menghukumi suatau perkara, apa bisa kita artikan dengan selain daripada berhukum? Ini adalah sesuatu yang lain untuk mengatakan bahwa mereka ada disana dan mereka tidak mengartikannya, tetapi sederhananya dengan pergi kesana, itu adalah sebuah hujjah untuk melawan mereka. Lebih lanjut, pemujaan apapun selain daripada Allah adalah Syirik akbar apapun yang kamu maksud dan menerimanya atau tidak kecuali di bawah paksaan. Memutuskan adalah penyembahan (ibadah) dan itu adalah penyembahan secara nyata (dapat dilihat), jika seseorang pergi memutuskan kepada selain daripada Allah, apakah dia menyukainya atau tidak itu adalah musyik, kecuali dalam keadaan terpaksa karena Allah (swt) berfirman, “kecuali orang-orang yang di bawah paksaan”. Dia adalah musyik apakah atas kemauannya atau tidak. Selanjutnya, itu tidak dibolehkan untuk meningglakan apa yang telah dengan jelas di putuskan, bahwa Allah mengutuk mereka atas putusan mereka dalam firmanNya, “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman…” dengan tujuan untuk pergi kepada keraguan dan kerancuan, untuk itu ayat selanjutnya mengatakan, “Mereka hendak berhakim ….” Dengan tujuan untuk menimbulkan keraguan atas itu, Allah (swt) mengatakan setelah itu bahwa, “Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” Allah memerintahkan untuk mengingkari thaghut tidak bisa digunakan sebagai sebuah bukti untuk berhukum padanya, ketika kita dengan jelas mengetahui dari ayat bahwa Allah mengutuk perbuatan itu (bertahkim), itu adalah tertolak untuk kemudian pergi untuk melaksanakan niatnya dan semua itu belum jelas. Jika seseorang mengatakan dia tidak menyukainya tetapi dia tetap pergi kepada thaghut untuk bertahkim, dia tidak menolak thaghut atau jika dia tidak melakukan itu tetapi dia menyukainya, dia tidak menolak thaghut. Jika mereka mengartikan dengan argument ini bahwa iraada adalah niat dengan tanpa melihat dari perkataan dan perbuatan, kemudian dalan kasus ini orang-orang yang menyembah kuburan dan bertawaf, sujud pada kuburan mereka tidak akan diartikan sebagai perbuatan syirik – jadi apa syirik itu? Ibnu Taimiyah berkata, ”seseorang yang melakukan atau mengatakan kufur, itu adalah kufuf walalupun dia tidak bermaksud untuk menjadi kafir karena tak seorangpun mengartikan untuk menjadi kafir kepada seseorang itu kecuali Allah sendiri yang mengetahui”. Orang-orang yang batil tidak pernah percaya bahwa dirinya adalah orang yang batil, bahkan Fir’aun berpikir bahwa dia pada yang benar. Seseorang yang melakukan kekufuran, dia adalah kafir apakah dia bermaksud untuk menjadi kafir atau tidak. Imam Tabari pada tafsir Surah Kahf ayat 104 “orang-orang ynag mengklaim… dan mereka yang mengklaim untuk melakukan perbutan perbuatan baik…”: “ayat ini adalah sebuah bukti melawan orang-orang yang mengklaim bahwa tidak ada orang yang menjadi kafir pada Allah kecuali seseorang yang telah berniat untuk menjadi kafir setelah dia mengetahui tawhid, karena Allah berfirman perbuatan mereka akan hilang meskipun demikian mereka sedang melakukan perbuatan baik.” Apapun yang mereka pikirkan adalah tidak relevan dan ayat ini adalah bukti bahwa orang-orang akan menjadi kafir tanpa di sadari, bahwa mereka akan menjadi kafir pada saat mereka berpikir bahwa yang mereka lakukan adalah perbuatan yang baik. Imam Haafiz ibnu Hajar berkata, “sebagian dari kaum Muslimin keluar dari dien tanpa bermaksud untuk mengeluarkannya dan tanpa untuk memilih dien lain selain Islam. (Fath ul baari) ini adalah sesuatu yang tidak relevan apakah kamu mau menjadi kafir atau tidak, apakah kamu ingin bertahkim atau tidak, jika kamu melakukan kufur, jika kamu bertahkim pada thaghut, kamu adalah kafir.
Hafiz Ibnu Hajar juga berkata, “Ada sebuah hadits dari Rasulullah mengkonfirmasikan bahwa, Allah (swt) tentang Khawarij, mereka membaca Al Haq, mereka mengajarkan Al Qur’an, tetapi mereka meninggalkan ikatan Islam seperti anak panah yang meninggalkan busurnya.” Syeikh Muhammad bin Abdul Wabbah berkata berkaitan dengan orang-orang yang melakukan ibadah ritual dengan sebuah perbuatan lain, “yang mereka lakukan di depan kuburan dari pergi untuk meminta bantuan dan untuk menyelesaikan permasalahan mereka, itu dengan pasti yang orang-orang arab dari musyrikin lakukan sebelum bid’ah pada lata dan ‘uzza, mereka berkata “kita tidak menyembah mereka, kita hanya pergi kepada mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah”. Orang-orang pada saat ini mengatakan hal yang sama; mereka mengatakan kita tidak pergi kesana untuk menyembah thaghut, hanya untuk mencari kebenaran. Allah Menyebut orang-orang arab adalah musyrik karena mereka telah pergi pada berhala tidak karena mereka mempunyai niat untuk menyembah. Syeikh Muhammad Ibnu Abdul Wahhab melanjutkan, “pertanyaan yang muncul tentang seseorang dari kaum Muslimin yang melakukan itu, apakah dia kafir? Untuk menjawabnya kita lihat pada dialog di dalam kuburan, malaikat bertanya “siapa tuhanmu?” dia akan menjawab, “aduh? Saya tidak tahu, saya mendengar sebagian orang yang mengatakan demikian maka saya mengatakannya juga…” dan melaikat akan memukul kepalanya …” Mereka tidak mengetahui bahwa mereka adalah musyrik, tetapi mereka demikian. Tak seorangpun yang selamat dari kufur hanya karena mereka tidak tahu, dengan kata lain tidak ada orang yang akan menjadi murtad tidak juga akan kita berikan kesempatan untuk bertobat. Dan dia telah berkata, “jika kamu mengatakan bahwa mereka mengabaikan tetapi mereka adalah orang-orang musyrik dengan perbuatan mereka, aku katakan, telah tertulis dalam kitab para fuqaha dan ummat pada bab murtad, bahwa seseorang yang berkata dengan kalimat kufur, walalupun mereka tidak mengetahuinya bahwa itu adalah kufur dan itu adalah bukti bahwa mereka jahil dalam Islam, jika kamu berkata bahwa mereka tidak mengetahui Islam atau kufur, maka mereka adalah kafir asli.” Cara lain mereka adalah kafir apakah mereka murtad atau asli. Kita melihat dalam ayat bahwa Allah megutuk orang-orang yang memutuskan dengan dirinya sendiri selanjutnya seseorang yang mau mengadili dengan hasil keputusan itu benar-benar dari dirinya. Allah mengutuk mereka jika mereka telah mengadili suatu perkara dan megutuk mereka jika mereka tidak mengadili pada saat mereka mau melakukan demikian itu. 3.”…Berhukum adalah syirik tetapi syirik Asghar (kecil).” Alasan lain bahwa itu adalah syirik asghar (kecil), dan itu jelas bahwa ketika mereka benar-benar mencocokkan dan menyudutkan pada fakta bahwa itu adalah syirik, ketika mereka katakan “itu adalah syirik Asghar”, masih bahwa itu masih tidak dapat izin untuk melakukan itu. Itu diketahui dengan jelas bahwa ibadah ritual dilakukan tidak lain hanya untuk Allah, Ibadah ada dalam bagian: menyembah dengan hati, menyembah dengan lidah dan menyembah dengan anggota tubuh. Ibadah yang nyata seperti berdoa – dengan mengangkat tangan dan meminta dengan lidah. Al Istightsa, Al ruku’, Sujud dan lain-lain semua itu adalah ibadah yang nyata, termasuk mengadili pada thaghut. Orang-orang yang melakukan ibadah yang nyata kepada selain dari pada Allah adalah syirik, kecuali pada apa yang tersembunyi dalam niat yang terdapat dalam hati. Kita menilai hanya pada sesuatu yang tampak, kita tidak dapat menilai apa yang ada dalam hati; kita hanya bisa menilai dengan apa yang dia tampakkan, dengan perkataan mereka atau dengan perbuatan mereka. Beriman pada Allah bukan hanya dalam hati, tetapi di dalam hati, perkataan dan perbuatan. Seseorang yang menggunakan argumen itu adalah syirk asghar telah membuat kesalahan dengan membuat analogi dengan hukum qassam dengan selain daripada Allah, perkataan ini adalah syirik Asghar dan mempunyai qarina bahwa itu adalah asghar. Alasan bahwa mereka membuat kesalahan ini adalah karena mereka adalah orang-orang murji’, irja’ ini adalah seseuatu yang paling berbahaya, bahkan lebih bahaya daripada yahudi dan Nasrani. Orang-orang mungkin bertanya, ‘mengapa para fuqaha mengucapakan sumpah dalam ibadah?” ini karena bersumpah demi Allah adalah teman dari ibadah, ibadah dari ta’zim, untuk meninggikan Allah, dengan bersumpah pada Allah kamu meninggikan dan memuliakan Allah dan itu adalah ibadah, dengan bersumpah kamu mendeklarasikan bahwa Dia adalah yang paling layak untuk ta’zim dan bersumpah denganNya. Jika seseorang bersumpah dengan nama selain Allah, dia tidak selalu berta’zim, dan demikian itu adalah tidak selalu sebuah bentuk penyembahan. Dikatakan menyembah jika itu adalah meninggikan Allah, tetapi itu tidak selalu penyembahan pada saat dia berjanji dengan sesuatu yang lain. Namun, mengadili hanya akan terjadi pada seseorang yang mungkin bahwa dia itu selalu menyembah. Ta’zim adalah salah satu fungi hati, itu adalah I’tiqad dalam hati bahwa kita tidak melihat atau tidak juga menghakimi, itu adalah sesuatu yang tersembunyi dalam niat; itu mungkin meninggikan atau itu mungkin hanya untuk meyakinkan seseorang saja. Namun, mengadili adalah sesuatu yang nyata, itu adalah perbuatan anggota tubuh itu sesuatu yang terlihat dan bisa di nilai. Ketika seseorang datang kepada Nabi (saw) dan bersumpah dengan nama ibunya, dia (saw) mendeklarasikan bahwa itu syirik, tetapi tidak memintanya untuk mengulang shalatnya. Ini adalah qarina bahwa itu adalah syirik asghar kecuali dia menafsirkan itu sebagai ibadah ritual dan sebagianya yaitu jika dia berkata, “aku bersumpah demi ibuku terbaik seperti Allah .” dia melakukan syirik akbar. Ta’zim adalah tersembunyi dan membutuhkan untuk di tunjukan kemudian dinilai sebagai ibadah, sedangkan shalat dan mengadili adalah perbuatan dan itu tidak perlu lagi di tunjukan karena itu adalah sesuatu yang tampak. Dalam Bukhari, Rasulullah (saw) bersabda, “Allah melarangmu untuk bersumpah atas nama bapakmu dan ibumu.” Namun dalam permulaan Islam, itu tidak dilarang untuk bersumpah atas nama orangtuamu, kemudian itu dibatalkan, sedangkan mengadili adalah tetap syirik dan tertolak dari permulaan Islam dan ayat, “. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu… (QS An Nisa 4 : 60) telah diturunkan di Madinah, itu adalah syirik akbar dari permulaan sampai akhir dari Islam dan tidak dibatalkan seperti hukum bersumpah dan tidak ada dalam Islam bahwa syirik Akbar dalam permulaan Islam dan kemudian menjadi syirik Asghar pada masa kemudian; untuk beranalogi diantara dua ini adalah salah. Jika kita berusaha untuk membuat analogi kita akan berkata dalam mengadili pada thagut, bahwa itu adalah di bolehkan untuk memutuskan kepada kaahin sebelum di Mekkah dan telah di batalkan sesudahnya. Klaim seperti ini adalah sungguh sangat berbahaya dan mempunyai implikasi yang serius dan itu bukanlah sebuah permasalahan, mengadili pada thaghut adalah syirik Akbar dari permulaan Islam. Lebih lanjut, walaupun itu adalah benar dan itu adalah syirik asghar, kamu masih dilarang untuk memutuskan kepada thaghut. 4. “…jika kita memutuskan dan mencari hukum yang berlawanan dengan syari’ah kita tidak akan mengambilnya, tetapi jika cocok dengan syari’ah kita akan mengambilnya.” Orang-orang yang mengatakan itu mereka akan mengadili pada thaghut dan jika itu bertentangan dengan syari’ah kemudian mereka akan menolaknya karena menyetujui adalah kufur, tetapi jika itu di setujui kemudian mereka akan mengambilnya. Ini adalah keraguan yang di buat oleh orang-orang Jaamis terutama di Eropa. Mereka pertama kali membuat kesalahan mencari hasil dari pengadilan dan melupakan bahwa pengertian memutuskan adalah syirik. Allah (swt) berfirman, “ mereka hendak berhakim pada thaghut…” sungguh nyata bahwa mereka menginginkan untuk memutuskan adalah cukup pada Allah unuk menyebut mereka kafir, itu tidak dilakukan dengan apapun atau tidak juga Ka’ab akan memberi sebuah keadilan atau padangan yang tidak adil. Lebih lanjut, kita tidak berbicara tentang kebenaran orang-orang diatas kebenaran Allah (swt); kita tidak mencari kebenaran yang kita miliki dan khawatir tentangnya jika itu akan menjadi keadilan atau ketidakadilan pelanggaran kebenaran Allah. Kebenaran adalah dari Allah bukan untuk melakukan syirik. 5.”…sekarang tidak ada negara Islam untuk mendapatkan kebenaran kita, jadi kita di bawah tekanan.” Kebanyakan orang-orang Murji’ah menggunakan argumen ini. Namun Allah (swt) berfirman, “Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang kafir. (QS An Nahl 16 : 107) Orang-orang yang menggunakan argumen ini melupakan akan hukuman hari akhir untuk mengejar keinginan mereka di dunia, Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “kekufuran dan janji hukuman dari Allah untuk mereka adalah tidak lain karena mereka membenci Dien atau mereka mencintai kufur, hanya karena dia ingin mendapatkan kesenangan dunia diatas dien.” Itu adalah sesuatu yang terlarang bagi orang-orang beriman untuk mementingkan masalah dunia, seperti mencuri mobil dan sebagainya mengabaikan Dien, kamu tidak bisa mengklaim dibawah tekanan kemudian kita mencuri mobil dengan tujuan untuk meninggalkan dien dengan memutuskan kepada thaghut, ini lebih baik di lupakan tentang pekerjaanmu, mobil dan kepentingan dien diatas dunia. Rasulullah (saw) bersabda, “seseorang yang gagal adalah seseorang yang menyembah dinar dan seseorang yang gagal adalah seseorangyang menyembah dirham, seseorang yang gagal adalah adalah seseorang yang menyembah pakaian…” Allah (swt) berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapa-bapa dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS At Taubah 9 : 23) Allah (swt) tidak menyukai mereka yang memilih segala kesenangan dunia (dan Allah menyebutkan apa saja yang disayangi orang-orang) atas jihad, itulah sebab mereka meninggalkan jihad atas segala kepentingan dunia. Melalaikan salah satu kewajiban hanya untuk kepentingan dunia mereka akan di hukum oleh Allah dengan sendirinya karena melakukan syirik Akbar hanya untuk mendapat secuil dari manfaat dunia. Lebih lanjut, jika kita beriman dalam paksaan, Allah (swt) tidak akan pernah memberikan sebuah izin bagi seseorang yang melakukan syirik walaupun dibawah paksaan, lebih lanjut paksaan berarti bahwa itu adalah antara hidup dan mati, bahwa dia dipaksa untuk melakukan, terancam, dipukul dan setelah itu baru di bolehkan. Namun orang-orang tidak dalam paksaan, menemukan jalan, dapat memilih untuk mengadili dengan kemauan mereka. Lebih lanjut, Allah (swt) berfirman: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS Adz Dzariyat 51 : 56-58) Jadi bagaimana bisa kita melanggar tujuan kita di ciptakan, apakah tujuan tauhid adalah hanya semata-mata untuk memperoleh rezki kita? Allah (swt) telah menyiapkan dan menjamin rezeki kita dan dia meletakkan jaminan ini dalam kontek dari perintahnya untuk menyembahnya saja untuk menekankan bahwa itu sangat penting, jadi kalu kita tidak pernah menyembah selain daripada Allah hanya untuk rezki kita. Allah (swt) berfirman dalan hadits Qudsi: “Beribadahlah padaku sepanjang waktu, aku akan membuat hatimu kaya dan memenuhi kebutuhanmu, jika kamu tidak tunduk padaku,aku akan membuatmu sibuk sepanjang waktidan aku tidak akan pernah memenuhimu.” Lebih lanjut, tekanan tidak sama dengan paksaan. Itu adalah sebuah kesalahan mengatakan bahwa kita bisa melakukan kekufuran dan kesyirikan karena kamu dalam tekanan; tekanan berarti kamu berhadapan antara hidup dan kondisi kematian karena kebutuhan materi yaitu kelaparan. Paksaan itu berbeda dan menghendaki beberapa bentuk hukuman atau penyiksaan. Allah (swt) berfirman, “siapa saja yang dalam keterpaksaan tidak baghi dan tidak juga melanggar, tidak ada dosa atasnya dan Allah mengampuninya.” Itu berarti seeorang yang tidak mempunyai makanan dan dalam paksaan, dia akan mengambil lebih sedikit daripada fasad, jika dia mempunyai daging babi dan tidak mempunyai daging (untuk dimakan) dia boleh mengambilnya lebih sedikit dari dua fasad, dan dia akan memakannya dalam jumlah yang sedikit, cukup untuk menyelamatkan nyawanya. Seseorang yang dalam paksaan berbeda dengan dalam tekanan. Seseorang mungkin bertanya, apa itu pakasaan? Allah (swt) berfirman, “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (QS An Nahl 16 : 106) Ayat ini di turunkan tentang Ammar bin Yasir, orang-orang Quraisy menangkapnya dan ibu bapaknya, kemudian menyiksa mereka, mereka mengambil Ibunya Sumayyah dan mengikat anggota badannya pada unta yang di tariknya dan menyiksanya dan kemudian Umayyah bin Khalaf dating dengan tombak dan membunuhnya. Ayahnya Yasir tersiksan dan terbunuh, diletakkan minyak panas pada tubuhnya. Setelah semua siksaan itu Ammar bin Yasir dia menggunakan izin untuk mengatakan sebuah kalimat kufur. Dia tidak pernah melakukan kekufuran tanpa mengawali siksaan dia berkata, “ saya menolak Muhammad” tetapi dalam hatinya penuh dengan keimanan. Rasulullah (saw) bersabda, “Ammar adalah seorang yang beriman dari kepala hingga ujung kaki; Iman telah bercampur antara darahnya dan dagingnya.” Ammar datang kepada Muhammad (saw) dan menangis, Rasulullah bertanya kepadanya mengapa dia menangis, Ammar berkata, ”Aku telah berkata buruk tentangmu dan aku memuji mereka” beliau (saw) menjawab “apa yang ada dalam hatimu” Ammar berkata, “aku mencintaimu dan aku beriman kepadamu…” lalu Rasulullah (saw) menjawab, “jika kamu disiksa lagi, maka katakana itu lagi.” Ayat ini berbicara tantang orang-orang yang yang berhadapan dengan siksaan dibawah paksaan, jadi siapa saja yang menghadapi seperti apa yang dihadapi Ammar akan mendapatkan izin yang sama seperti apa yang Ammar dapatkan. Untuk mengatakan kufur setelah ibu dan bapaknya terbunuh dan dia telah di siksa. Namun untuk menyebutkan paksaan orang-orang pada saat ini tidak sebanding dengan Ammar, mereka adalah bebas untukmelakukan sebagaimana yang mereka inginkan dan hanya mengklaim dibawah paksaan, Bilal telah mengalami hal yang sama sebagaimana yang Ammar hadapi tetapi dia tidak mau berkompromi. Imam Ahmad berkata ketika mereka berbicara pada Imam Ahamd dan bertanya padanya untuk membuat tuqiyah karena mereka dibawah paksaan, untuk mendapatkan izin seperti halnya Ammar, dia berkata: “mereka memukul Ammar dan kamu mundur sebelum kamu mendapatkan pukulan.
Jadi Siksaan adalah syarat mutlak untuk mendapatkan keringanan dari paksaan. Argument palsu mereka adalah sistem thaghut yang mengambil harta dari orang-orang dan menolak untuk mengembalikannya sampai dia menyembah tuhan mereka. Pertanyaan yang muncul, jika seseorang mengatakan seperti ini, “aku tidak akan mengembalikan hartamu sampai kamu menyembah berhala,” dapatkah kita benar-benar melakukannya dalam situasi seperti ini? Apakah ini keterpaksaan? Atau ini adalah tekanan? Lebih lanjut, seseorang yang benar-benar membutuhkan hartanya yang hilang, dan dia dibawah indikasi paksaan, kita harus menyusun semua bukti untuk mengahakimi jika dia benar-benar dibawah paksaan, Allah (swt) berfirman, ” Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?.” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?.”… (QS An Nisa 4 : 97) Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ayat ini telah diturunkan tentang kaum Muslimin yang dipaksa untuk berperang dengan orang-orang kafir melawan kaum Muslimin dalam perang Badar, Rasulullah (saw) telah menangkap sebagian dari mereka dan membunuh sebagian yang lainnya, dan beliau memperlakukan mereka seperti orang-orang kafir. Abul Aswad berkata, “Dari sekelompok orang-orang Madinah yang jalan menuju Madinah, akau telah membuat kesepakataan dengan mereka untuk melindungi nyawaku, aku bertemu Ibnu Abbas dan dia berkata kepadaku untuk tidak melakukan itu, orang-orang tidak dibolehkan melakukannya…” orang-orang ini tidak pernah merasakan seperti apa yang di alami oleh Ammar bin Yasir, tentu saja mereka orang-orang kafir akan menindasmu khususnya jika mereka mempunyai kekuasaan atasmu, tetapi itu bukan berarti itu adalah paksaan. Orang-orang ini yang telah berprang di perang Badar dimana todak pernah tersiksa seperti ammar dan kemudian kaum Muslimin telah diperlakukan sebagaimana kafir walaupun mereka mengklaim bahwa mereka berada dalam paksaan. Ibnu Jarier dalam tafsirnnya meweriwayatkan bahwa, “Ketika Muhammad (saw) betemu dengan Abbas dia bersabda, “bebaskan dirimu dan keponakanmu” Abbas berkata, “Yaa Rasulullah, apakah kami tidak berdoa pada waktu shalat dan tidak menghadap qiblat?” Beliau (saw) menjawab, “kamu berperang dengan mereka dan kamu kalah.”” Kita memahami bahwa dimana itu adalah benar-benar tekanan, dan itu harus tidak ada .pilihan yang untuk kita, dengan kata lain itu adalah bukan paksaan. Meskipun Abbas adalah seorang Muslim di Mekkah dan dia bisa melakukan hijrah tetapi dia memilih untuk tetap tinggal di camp mereka dan kemudian dia berkelahi melawan kaum Muslimin. Satu-satunya sisa shubuha adalah seseorang dari kalangan Ahnaf, mereka percaya bahwa paksaan bisa juga dipakai jika kita diancam dengan siksaan; namun bahwa siksaan harus dengan pihak keamanan dan otoritas. Menurut Ahnaf seseorang yang sedikit ragu bahwa dia di bawah tekanan atau ancaman dengannya, itu tidak bisa untuk meninggalkan dia mempunyai keringanan, tetapi jika dia bisa meninggalkan, itu bukan paksaan dan dia tidak dapat mengambil kerinaganan tersebut. Lebih lanjut, ada sebuah ayat yang bertanya “Camp mana yang bersama mereka,” dan mereka membuat pernyataan bahwa ‘kita ini lemah di muka bumi’ dan memutuskan dengan thoghut meletakkan kita dengan orang-orang kafir dan camp mereka. Perbedaannya adalah antara menahan untuk berhijrah; orang-orang yang telah menahan dirinya untuk berhijrah dia akan berdosa untuk tetap tinggal dengan mereka sebab mereka tidak mempunyai jalan keluar, seperti Ibnu Abbas. Tetapi orang-orang yang memilih tetap tinggal di Mekkah dengan camp kufur; mereka adalah sasaran dari ayat ini. 6. “…ini hanya haram jika itu terlibat istihlal” Mereka mengklaim bahwa Allah mengutuk orang-orang yang mereka telah membuat halal menjadi haram dan haram menjadi halal, dimana mereka mengklaim bahwa mereka adalah benar-benar mengikuti pada apa yang telah Allah katakana. Argumen yang mereka gunakan adalah berdasarkan perkataan Ibnu Taymiyah tetantang ayat, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah…” (QS At Taubah 9 : 31) Ibnu Taimiyah berkata, “mereka orang-orang yang mengambil rahib-rahib dan orang alim mereka sebagai tuhan selain Allah, mereka menaati mereka dalam melaksanakan apa yang Allah larang dan melarang apa yang Allah perintahkan, mereka ada dua, 1. karena mereka mengubah Dien dan mereka mengikuti perubahan itu dan mereka mulai untuk beriman pada yang telah dilarang oleh Allah, dan itu adalah kufur akbar. 2. mereka mematuhi dalam seseuatu yang tidak berhak dipatuhi oleh Allah tetapi mereka mengetahui bahwa itu adalah haram, mereka tidak kafir.” (Majmu Fattawa) Pengertiannya bahwa mereka mengetahui bahwa mereka telah merubah Dien, dan itu yang mereka ikuti adala berbeda dengan Dien, bahwa itu adalah istihlal dan kufur akbar, kedua adalah seseorang yang bahwa itu adalah haram tetapi mereka tidak menaati Allah dan patuh pada rahib-rahib dan orang-orang alim. Ini shubuhat itu yang muncul dari perkataan ini. Namun, mereka tidak membedakan antara dua jenis ketaatan; itu adalah Al Ta’ah Syirki dan At Ta’ah Ma’ssiyah. Seseorang yang mempercayai bahwa sebuah perbuatan adalah haram tetapi dia melakukannya diluar dari ketaatan dan mengetahui bahwa itu adalah berdosa atasnya; ia tidak kafir dan itu adalah Ta’ah Ma’ssiyah. Namun seseorang yang patuh pada seseorang dan yakin itu bahwa itu menyebabkan dia menaati mereka bahwa dia tidak lagi berdosa besar itu adalah Ta’ah Syirki dan dia adalah Musyrik itu seperti mereka menyuruh kepadanya untuk menyembah berhala. Ibnu Taimiyah telah menjelaskan perbedaan ini antara Al Ta’ah Syirki dan Al Ta’ah Ma’ssiyah, dia tidak membolehkan untuk berhukum kepada thoghut faktanya dia mempunyai perkataan yang berlawanan dengan pernyataan tersebut. Namun, ada perbedaan besar antara ketaatan dan memutuskan, ketaatan adalah berjenis, itu bisa menjadi syirik dan itu bisa menjadi ma’ssiyah. Namun, memutuskan kepada thaghut adalah syirik pada Allah; memutuskan adalah sebuah perbuatan menyembah. Ibnu Taimiyah berkata, “Siapa saja yang memutuskan kepada selain dari pada Al Qur’an dan Sunnah setelah diterangkan kepadanya, dia adalah kagir kufur akbar.” Keraguan bahwa mereka mencoba untuk menutupi dengan perkataan itu hanyalah Ma’ssiyah, adalah salah dan tidak bisa di sandarkan kepada Ibnu Taimiyah. 7. “…kita mengetahui bahwa itu adalah thgahut, tetapi karena tekanan dan fitnah…..dan sebaginya” kepada seseorang yang mengetahui dan menerima bahwa berhukum pada thaghut adalah kufur akbar dan kemudian mereka mengklaim bahwa mereka hanya melakukan itu di bawah tekan, kita harus ingat, mana yang lebih penting, melakukan kekufuran atau terbunuh? Allah (swt) berfitman, “fitnah lebih kejam daripada membunuh.” (QS Al Baqarah 2 : 217) Dan Ibnu Mas’ud berkata dalam tafsir tentang ayat ini, “fitnah adalah kekufuran.” Maka jika kita berargument bahwa berhakim adalah kufur dan kita melakukannya diluar paksaan, bahkan diluar rasa takut dari paksaan yang maksimum dari takut mati,kami mengatakan bahwa Kufur adalah lebih kejam daripada terbunuh. Ironisnya, mereka tidak dibawah paksaan, tidak ada seorangpun yang meletakkan pisau di leher mereka, mereka hanya ‘takut’ bahwa mereka akan berhadapan dengan siksaan, ayatnya telah sangat jelas bahwa jika semua orang di muka bumi berperang dan terbunuh itu adalah lebih buruk daripada kejahatan dari satu hokum yang telah diterapkan. Imam Muhammad bin Abdul Wahhab berkata, “Jika orang-orang Badui dan kota dimana untuk berperan, berperang satu sama lain sampai semua orang terbunuh, itu lebih buruk daripada mempunyai satu thaghut yang menerapkan kekufuran atau untuk berhakim kepada mereka.” Ini adalah masalah bagi orang-orang yang mengklaim terpaksa tanpa siksaan, dibawah paksaan bukan Iman bukan juga kufur adalah dapat dipertanggungjawabkan, kamu tidak bisa menjadi seorang Muslim dibawah paksaan dan untuk mengatakan kufur kufur mempunyai sebuah izin dan juga ini, membunuh menjadi lebih kejam daripada mengizinkan. Lebih lanjut, semua perselisihan dalam pengadilan dan bahkan untuk yang terbaik dari apa yang mereka putuskan, adalah hanya untuk kesenangan dunia saja dan jadi bagaimana sesuatu yang kufur menjadi di bolehkan hany auntuk kepentingan dunia saja dimana seseorang adalah tidak beriman sampai Allah dan Rasulnya lebih disayangi olehnya daripada sesuatu yang lain. Rasulullah (saw) bersabda, “Tidak ada seorangpun yang beriman sampai kamu mencintai Allah dan RasulNya lebih daripada sesuatu yang lain.” Jika kita diberikan pilihan antara semua persolan dunia bahkan Ibu dan Bapak kemudian Allah dan RasulNya, dapatkah kita memilih dunia? Dapatkah itu terjadi ketika Allah (swt) mengatakan bahwa kamu akan lari dari Ibu dan ayahmu sendiri pada hari perhitungan? Berhukum adalah ibadah ritual dan berhukum pada thaghut adalah memalingkan ibadah ritualmu kepada selain daripada Allah (swt), At Tahakum kepada thaghut adal sujud kepada selain daripada Allah (swt) dan Abu Huraira mengatakan bahwa Rasulullah (saw) bersabda: “Orang-orang akan dikumpulkan pada hari pengadilan, Allah akan berkata, “kepada apa saja orang-orang menyembah, dibiarkan untuk mengikutinya, seseorang mengiktui matahari dia akan mengikutinya, seseorang yang mengikuti bulan, dia akan mengikutinya, seseorang yang mengikuti tawaghiit dia akan mengikuti tawaghit.” (Bukhari) Solusi Kita telah mengerti bahwa pada awalnya, mereka tidak mempunyai paksaan di Mekkah dan begitu juga tidak diberikan alasan dari tekanan ketika mereka berperang melawan kaum Muslimin, sama halnya, kebanyakan tak seorangpun di UK yang hidup tanpa pilihan kecuali bagi segelintir orang yang disana dibawah tekanan. Kaum Muslimin yang pergi ke Abyssinia yang telah berhadapan dengan siksaan, mereka tidak kesana untuk urusan dunia atau untuk alasan duniawi. Ada suatu peristiwa yang menarik pada saat Ubaidis Fatimis di Mesir, mereka telah murtad yang memerintahkan Mesir pada saat itu oleh kufur dan menggunakan untuk menghukum siapa saja yang menjelaskan nama Shahabah,mereka menangkap seseorang dan meletakkan dia di bawah siksaan, dan telah berkata kepadanya, “mau bergabung dengan dakwah kita atau kamu terbunuh.” Namum itu telah di katakatan tentangnya sebagaimana telah di riwayatkan oleh Qadi Iyad, “Dia seharusnya memilih untuk terbunuh, dia mempunyai pilihan untuk lari tetapi di tidak pernah lari, kamu tidak bisa memberi keringanan apapun jika pilihanmu untuk hidup dengan mereka disebuah tempat dengan orang-orang yang menolak syari’ah. Sebagaimana ulama yang telah tinggal di Mesir dan hamba-hamba lain yang baik, mereka seharusnya tidak berhijrah, mereka tetap tinggal disana dan mengajarkan orang-orang dien mereka.” Sekarang kita ketahui dengan baik bahwa kita mempunyai jutaan kaum Muslimin yang hidup ditanah kuffar, dan jutaan hidup di bawah rezim thaghut di negeri kaum Msulimin; apakah kamu percaya bahwa jika mereka menyuruh kaum Muslimin untuk menyembah berhala yang bertentangan dengan huquq mereka (kebenaran dan maslaha yang lain) bahwa dia diizinkan untuk melakukan itu? Satu-satunya orang yang mengakui bahwa berhukum pada thaghut adalah kufur tetapi membawakan keringanan untuk melakukan itu, tidak ada alasan karena ketidaktahuan, kamia akan menyebut dia kafir. Dia mengklaim bahwa dia dibawah paksaan karena mereka hidup di bawah orang-orang kafir, tetapi keseluruhan kaum Muslimin di dunia di bawah kufur, itu bukan berarti membuat keringanan bagi perbuatan kufur atau kesyirikan mereka. 1. Hijrah Allah (swt) berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al Baqarah 2 : 218) “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS An Naml 16 : 41) “Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An Naml 16 : 110) “Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An Nisa 4: 100) Ibnu Katsir membuat tafsir atas ayat-ayat ini, ketika Allah (swt) mengatakan, “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia…” Ibnu Mas’ud dan Ibnu Umar berkata, “Dimana saja seseorang berhijrah, dia akan menemukan rizqinya.” Salah satu cara untuk menjauh dari fitnah ini adalah dengan berhijrah, berhijrah dari tempat yang yang kita nyatakan disitu kita dalam tekanan menuju dimana kita tidak mendapat tekanan. Inilah sebab kenapa Ulama telah berbicara tentang hijrah dari dar ul kufur menuju dar ul Islam dan dari tempat fusuq menuju ketempat non fusuq atau dari dimana kita tidak bisa melakukan kewajiban kita menuju ketempat dimana kita bisa melakukan kewajiban tersebut. 2. MENGASINGKAN DIRI Dalam Bukhari ada dalam bab “bagian dari dien untuk meninggalkan fitan.” Dimana didalam riwayat yang disampaikan oleh Abu Sa’id Al Khidrii bahwa, “Harta yang paling berharga dari kaum Muslimin akan menjadi domba yang dia meninggalkan untuk memberi makanannya di gunung dengan tujuan untuk lari dari fitan.” Seseorang yang tida bisa meninggalkan dia harus uzlah – mengasingkan dirinya. 3. DAKWAH Ini adalah selelompok orang yang tidak mau berhijrah tidak juga mengisolasi diri, mereka harus menjadi sebuah jama’ah Muslim yang berkumpul bersama-sama dan memeilih seorang Alim untuk menjadi Amir tas mereka untuk mengatur dengan apa yang Allah telah turunkan sampai mereka menjatuhkan hokum kufur dan mendapatkan kekuatan. Itu ada dalam karangan kelima dari Imam syafi’I dalam kitab ul Umm berkata, “Itu adalah sebuah kewajiban kepada Imam untuk menunujuk sebuah hokum di setiap kota dan setiap jalan besar, membuat orang-orang menyerahkan kepadanya di setiap permasalahan, dan jika disana tidak ada Imam mereka akan memilih salah satu dari diantara mereka untuk di tunjuk.” Ini adalah tiga hal yang terbaik dan paling berpahala.

1 komentar:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    BalasHapus